Nama : Safira Kamila
Kelas : 2EB06
NPM : 23209826
LIgitasi
litigasi adalah menyelesaikan suatu perkara hukum dengan melalui jalur hokum.
Keuntungan litigasi..
Litigasi dapat dijadikan sebagi shock terapi untuk pihak lawan..
bagi sebagian advokat penyelesaian lewat jalur litigasi dapat juga sebagai “pendongkrak” popularitas, semakin sering sidang maka semakin terkenal..
Kerugiannya litigasi..
Waktu yang bertele-tele, alias lama, untuk sidang yang “normal aja” bisa menghabiskan waktu sampai dengan tiga bulan-nan.. bahkan dulu untuk sidang hibah di Purbalingga, pernah sidang hingga 16 kali sidang, yang lama di eksepsi dan saksi-saksi bahkan untuk putusan sampai diundur 1 kali sidang…. Biaya yang dikeluarkan relatif lebih besar, terlalu banyak “administrasi”.
Contoh:
Pelanggaran Lalu Lintas,apabila ditilang oleh pak polisi. Biasanya mereka menawarkan mau ditilang apa disidang. Apabila kita memilih ditilang dengan cara damai orang yang ditilang biasanya memberikan uang kepada polisi dengan standar pembayaran yang tidak sesuai yaitu dengan membayar ditempat. Sedangkan apa bila disidang, menghabiskan waktu karena yang disidang itu sampai berpuluh-puluh orang. Meskipun jumlah uang yang dikeluarkan tidak besar.
Jumat, 11 Maret 2011
Cara-cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Dengan Cara Abitrase
Nama : Safira kamila
NPM : 23209826
Kelas : 2Eb06
"Arbitrasi" atau dalam istilah asing disebut arbitrage, yang dalam dunia ekonomi dan keuangan adalah merupakan praktik untuk memperoleh keuntungan dari perbedaan harga yang terjadi di antara dua pasar keuangan. Arbitrasi ini adalah merupakan suatu kombinasi penyesuaian transaksi atas dua pasar keuangan di mana keuntungan yang diperoleh adalah berasal dari selisih antara harga pasar yang satu dengan yang lainnya.
Dalam dunia akademis, istilah "arbitrasi" ini diartikan sebagai suatu transaksi tanpa arus kas negatif dalam keadaan yang bagaimanapun, dan terdapat arus kas positif atas sekurangnya pada satu keadaan , atau dengan istilah sederhana disebut sebagai "keuntungan tanpa risiko" (risk-free profit).
Seorang yang melakukan arbitrasi disebut "arbitraser" atau dalam istilah asing disebut juga arbitrageur. Istilah ini utamanya digunakan dalam perdagangan instrumen keuangan seperti obligasi, saham, derivatif, komoditi dan mata uang.
Apabila harga pasar tidak memungkinkan dilakukannya arbitrasi yang menguntungkan, maka harga tersebut adalah merupakan ekuilibrium arbitrasi (lihat :harga keseimbangan) atau juga dikenal dengan istilah arbitrage equilibrium atau pasar bebas arbitrasi. Ekulibrium atau keseimbangan arbitrasi ini adalah merupakan prakondisi dari teori keseimbangan umum atau general equilibrium.
Contoh arbitrasi
• Misalnya saja nilai tukar ( setelah dipotong biaya penukaran) di London adalah 5 poundsterling = 10 USD = 1.000 yen dan nilai tukar di Tokyo adalah 1000 yen = 6 poundsterling = 12 USD. Sehingga dengan melakukan penukaran uang senilai ¥1000 akan memperoleh $12 di Tokyo dan dengan menukarkan $12 tersebut di London akan memperoleh ¥1.200, sehingga akan dilakukan arbitrasi untuk keuntungan sebesar ¥200 tersebut. Dalam kenyataannya arbitrasi segitiga ini sedemikian sederhananya namun amat jarang terjadi dimana arbitrasi atas kurs spot valuta asing pada kontrak serah adalah lebih umum dilakukan.
• Contoh arbitrasi yang melibatkan New York Stock Exchange dan Chicago Mercantile Exchange. Dimana harga saham pada NYSE dan kontrak serah yang menjadi korespondennya di CME adalah tidak seimbang, salah satunya dapat membeli sedikit lebih murah dan menjual dengan harga lebih mahal. Sebab perbedaan di antara harga tersebut kecil (dan tidak berlangsung lama) maka hal ini dapat menguntungkan apabila dilakukan dengan komputer untuk melakukan analisa harga di berbagai pasar dan secara otomatis melaksanakan perdagangan sewaktu terdapat harga yang selisih jauhy daripada karga keseimbangan. Aktivitas dari arbitraser lainnya dapat membuat hal ini menjadi sangat berisiko. Siapa yang memiliki komputer tercepat dan memiliki ahli matematika terpandai akan memperoleh keuntungan dari suatu selisih kecil berkesinambungan yang bagi investor individu merupakan hal yang tidak menguntungkan.
• Para ekonom menggunakan terminologi arbitrasi tenaga kerja global (global labor arbitrage) untuk menunjukkan tendensi beralihnya proses manufaktur ke negara-negara dengan upah tenaga kerja rendah serta memiliki minimum peringkat kestabilan politik dan pertumbuhan ekonomi yang mendukung bagi industrialisasi. Saat ini nampaknya banyak yang mengalihak manufaktur ke RRC, dan yang membutuhkan tenaga kerja berbahasa Inggris mengalihkannya ke India dan Filipina.
NPM : 23209826
Kelas : 2Eb06
"Arbitrasi" atau dalam istilah asing disebut arbitrage, yang dalam dunia ekonomi dan keuangan adalah merupakan praktik untuk memperoleh keuntungan dari perbedaan harga yang terjadi di antara dua pasar keuangan. Arbitrasi ini adalah merupakan suatu kombinasi penyesuaian transaksi atas dua pasar keuangan di mana keuntungan yang diperoleh adalah berasal dari selisih antara harga pasar yang satu dengan yang lainnya.
Dalam dunia akademis, istilah "arbitrasi" ini diartikan sebagai suatu transaksi tanpa arus kas negatif dalam keadaan yang bagaimanapun, dan terdapat arus kas positif atas sekurangnya pada satu keadaan , atau dengan istilah sederhana disebut sebagai "keuntungan tanpa risiko" (risk-free profit).
Seorang yang melakukan arbitrasi disebut "arbitraser" atau dalam istilah asing disebut juga arbitrageur. Istilah ini utamanya digunakan dalam perdagangan instrumen keuangan seperti obligasi, saham, derivatif, komoditi dan mata uang.
Apabila harga pasar tidak memungkinkan dilakukannya arbitrasi yang menguntungkan, maka harga tersebut adalah merupakan ekuilibrium arbitrasi (lihat :harga keseimbangan) atau juga dikenal dengan istilah arbitrage equilibrium atau pasar bebas arbitrasi. Ekulibrium atau keseimbangan arbitrasi ini adalah merupakan prakondisi dari teori keseimbangan umum atau general equilibrium.
Contoh arbitrasi
• Misalnya saja nilai tukar ( setelah dipotong biaya penukaran) di London adalah 5 poundsterling = 10 USD = 1.000 yen dan nilai tukar di Tokyo adalah 1000 yen = 6 poundsterling = 12 USD. Sehingga dengan melakukan penukaran uang senilai ¥1000 akan memperoleh $12 di Tokyo dan dengan menukarkan $12 tersebut di London akan memperoleh ¥1.200, sehingga akan dilakukan arbitrasi untuk keuntungan sebesar ¥200 tersebut. Dalam kenyataannya arbitrasi segitiga ini sedemikian sederhananya namun amat jarang terjadi dimana arbitrasi atas kurs spot valuta asing pada kontrak serah adalah lebih umum dilakukan.
• Contoh arbitrasi yang melibatkan New York Stock Exchange dan Chicago Mercantile Exchange. Dimana harga saham pada NYSE dan kontrak serah yang menjadi korespondennya di CME adalah tidak seimbang, salah satunya dapat membeli sedikit lebih murah dan menjual dengan harga lebih mahal. Sebab perbedaan di antara harga tersebut kecil (dan tidak berlangsung lama) maka hal ini dapat menguntungkan apabila dilakukan dengan komputer untuk melakukan analisa harga di berbagai pasar dan secara otomatis melaksanakan perdagangan sewaktu terdapat harga yang selisih jauhy daripada karga keseimbangan. Aktivitas dari arbitraser lainnya dapat membuat hal ini menjadi sangat berisiko. Siapa yang memiliki komputer tercepat dan memiliki ahli matematika terpandai akan memperoleh keuntungan dari suatu selisih kecil berkesinambungan yang bagi investor individu merupakan hal yang tidak menguntungkan.
• Para ekonom menggunakan terminologi arbitrasi tenaga kerja global (global labor arbitrage) untuk menunjukkan tendensi beralihnya proses manufaktur ke negara-negara dengan upah tenaga kerja rendah serta memiliki minimum peringkat kestabilan politik dan pertumbuhan ekonomi yang mendukung bagi industrialisasi. Saat ini nampaknya banyak yang mengalihak manufaktur ke RRC, dan yang membutuhkan tenaga kerja berbahasa Inggris mengalihkannya ke India dan Filipina.
Cara-cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Dengan Cara Mediasi
Nama : Safira Kamila
NPM : 23209826
Kelas : 2Eb06
3. Mediasi
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (individual or group), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation).
Mediasi biasanya dilakukan oleh pihak ketiga ketika pihak yang bersengketa tidak menemukan jalan keluar dalam penyelesaian suatu masalah.Maka pihak ketiga merupakan salah satu jalan keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Seorang mediator harus netral (tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa) dan independen. Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.
Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.
NPM : 23209826
Kelas : 2Eb06
3. Mediasi
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (individual or group), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation).
Mediasi biasanya dilakukan oleh pihak ketiga ketika pihak yang bersengketa tidak menemukan jalan keluar dalam penyelesaian suatu masalah.Maka pihak ketiga merupakan salah satu jalan keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Seorang mediator harus netral (tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa) dan independen. Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.
Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.
Cara-cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Dengan cara Enquiry
Nama : Safira Kamila
NPM : 23209826
Kelas : 2Eb06
2. Enquiry (penyelidikan)
J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka.
Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.
Contohnya:
Penyelidikan tentang bagaimana seorang siswa tidak dapat mengiuti setiap pelajaran yang diberikan disekolah. Salah satu penyebabnya ialah adanya rasa malas yang dihadapi setiap siswa.
Factor penyebabnya ialah: adanya tayangan televisi, game dan internet. Sehingga prestasi disekolah pun menurun.
NPM : 23209826
Kelas : 2Eb06
2. Enquiry (penyelidikan)
J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka.
Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.
Contohnya:
Penyelidikan tentang bagaimana seorang siswa tidak dapat mengiuti setiap pelajaran yang diberikan disekolah. Salah satu penyebabnya ialah adanya rasa malas yang dihadapi setiap siswa.
Factor penyebabnya ialah: adanya tayangan televisi, game dan internet. Sehingga prestasi disekolah pun menurun.
Cara-cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Nama: Safira Kamila
NPM :23209826
Kelas : 2EB06
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
Contohnya:
Damai Aceh Sebagai Contoh Keberhasilan Negosiasi Diplomatik Dan Resolusi Konflik Di Indonesia
Perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka fakta perdamaian tersebut telah memasuki usia tiga tahun 15 Agustus 2008. Simpul penting transformasi konflik menuju proses damai yang lebih stabil dan berkelanjutan telah dilalui. Kini, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mengikat komitmen damai bagi semua – peace process for all-, bukan hanya pihak yang bertikai. Sejak fakta perdamaian ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, nafas persengketaan dan permusuhan yang telah berakar lebih dari 30 tahun di Aceh mulai berhenti. Ia tergantikan dengan angin perubahaan yang jauh lebih signifikan dan makin melegakan. Simpul penting transformasi konflik menuju proses damai yang lebih stabil dan berkelanjutan telah dilalui. Damai ini mesti direfleksikan dengan rasa syukur oleh seluruh bangsa yang yang bermartabat. Cahaya perdamaian itu makin bersinar ketika pilkada paling demokratis telah mampu memberi ruang baru bagi sirkulasi kekuasaan di Aceh.
Para pemimpin yang terpilih dapat dikatakan sebagai representasi terbaik keinginan rakyat. Proses pemilihan yang nyaman dan belum pernah dialami bumi Iskandar Muda ini sejak pemilu 1955, menggembirakan semua pihak: Jakarta, para stakeholders rehabilitasi dan rekonstruksi, kelompok sipil demokratis, dan akar rumput. Pilkada pun melahirkan pemimpin yang beragam, mulai dari kelompok yang selama ini terbuang dari siklus kekuasaan (outsider) hingga masyarakat sipil yang dianggap berprestasi untuk menjaga momentum recovery Aceh. Kemenangan calon independen dalam pilkada lalu menunjukkan besarnya keinginan dari masyarakat sipil Aceh untuk menyongsong perubahan politik pemerintahan dan mengharapkan adanya visi pembangunan yang lebih mengakar pada kepentingan masyarakat luas dan korban dari kebijakan pro-Jakarta di masa lalu.
Disadari atau tidak, konflik Aceh telah berkembang menjadi problem sosial. Oleh karena itu, rekonsiliasi merupakan salah satu jalan yang amat penting untuk ditempuh. Untuk itu, pelibatan semua komponen masyarakat dalam proses perdamaian merupakan perekat yang dapat mencegah rusaknya perdamaian. Pelibatan masyarakat itu sendiri tercermin dari orientasi pembangunan yang berbasis pemberdayaan. Namun, masih terdapat beberapa persoalan penting di depan. Dalam fakta jalan damai yang mestinya sudah dibangun, keberadaan partai politik lokal dan persaingan politik di antara parpol nasional pada pemilu 2009. akan mewarnai konstalasi politik Aceh ke depan dan bagaimana pemerintahan nasional menghadapi pemerintahan Aceh pasca-pemilu. Sebab, tidak semua masalah Aceh diselesaikan di tanah Aceh sendiri, pastilah masuk kedalam sistem politik nasional. Bagaimanapun, Nota Kesepahaman (MoU) ataupun UU No. 11/2006 adalah bagian dari kebijakan politik nasional, sekalipun dorongan dan masukan dari unsur-unsur masyarakat Aceh juga tidak bisa diabaikan dan signifikan. Aceh yang terlahir sebagai indentitas plural dan jamak telah melalui sejarahnya dengan panjang dan unik. Aceh tidak tunggal dalam memaknai perjalanan dirinya, karena Aceh adalah kumpulan keberagaman. Baik itu etnis, ras, suku, agama, sejarah bangsa bahkan juga pandangan politik. Dimasa-masa awal Aceh, keberagaman ini dapat dimaknai dan diapresiasi secara positif, sehingga Aceh lahir menjadi titik tolak peradaban bagi wilayah sekitarnya.
Kini kedewasaan tersebut mendapat tantangan, karena Aceh sudah berada pada fase yang manentukan, pasca konflik dan tsunami. Bahwa kini di Aceh dituntut kembali untuk menmgelola keberagamannya, seperti masa-masa awal. Pengelolaan secara positif ini dinamai dengan multikulturalisme. Paham yang menerangkan akan pentingnya apresiasi positif terhadap perbedaan, dengan kacamata kesetaraan. menjelang Pemilu 2009 semua pihak ramai-ramai membicarakan dinamika perpolitikan di Aceh. Pertemuan Helsinki memberikan afirmasi bahwa tujuan dialog tidak lain adalah peletakan prioritas dasar terciptanya kondisi perdamaian secara komprehensif di Aceh dengan mengimplementasikan solusi-solusi yang berkelanjutan (sustainable). Hasil ini diharapkan menunjang proyek rekonstruksi Aceh pasca-tsunami agar dapat berhasil.
Boleh disimpulkan secara pragmatis, dialog Helsinki berdiri di atas “faktor ekonomi” yang kemudian menentukan proses-proses politik seperti penghentian kekerasan hingga rekonsiliasi. Sejak awal pihak donor membuat pernyataan bersama bahwa bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh akan “dihambat” jika pemerintah tidak mampu menjamin keamanan di daerah ini. Mungkin salah satu tonggak bersejarah penting untuk membangun kembali Aceh lebih baik merupakan pasca-penandatanganan kesepakatan perdamaian di Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus lalu adalah mempertahankannya sehingga menjadi sesuatu yang bersejarah bagi masyarakat Aceh. Kesepakatan-kesepakatan yang lampau tidak bertahan dan harus dikoreksi dan dipelajari pada perjanjian sekarang. Karena kita membutuhkan redefinisi ulang beberapa hal seperti, istilah nasionalisme Aceh (Bentuk kegagalan Negara dan alkuturasi kekerasan masyarakat terhadap tuntutan yang tidak pernah didengar) dalam kontek NKRI sepertinya kurang enak didengarkan. Menyebut nasionalisme Aceh seperti menangkap sesuatu yang ganjil, tabu, sok subjektif, dan tentu saja bermasalah bila dihadapkan dengan wacana pedoman, penghayatan dan pengalaman Pancasila, apalagi pada sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Di sini maknanya seringkali hanya pembenaran bagi seluruh ethnic, bahasa, subculture, dari kontinen Sabang hingga Merauke. Mereka seluruhnya seperti harus “menyifatkan” Indonesia. Tidak ada nasionalisme bagi etnis-etnis, yang ada hanya nasionalisme Indonesia.
korban konflik mampu memaksimalkan ruang publik (public sphere) yang dimilikinya. Belum semua mampu mengakses proses komunikasi, informasi dan kebijakan dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA) atau Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA), di tingkat pusat/propinsi maupun local/kabupaten-kota. Pola partisipatif, sosialiasi lembaga, peran, transparansi, keihklasan pada tingkat penguasa dan lain lain belum berjalan sebagaimana mestinya. Mungkin, di Aceh, terutama di daerah konflik, sepertinya ada kondisi pseudo-neurotik yang menyebabkan mereka terpasung dan tertekan secara psikologis. Mereka masih merasa tak memiliki siapapun dan apapun yang bisa mengangkat keresahan, harga diri, kepercayaan diri dan keinginannya. Ilustrasi di bawah ini memperlihatkan makin jelas tentang ironisme ruang publik untuk mengakses pemberdayaan korban konflik termasuk mantan combatan yang tersangkut di hangar kekerasan dan dominasi kekuasaan. Karenanya, pengabaian peristiwa kekerasan yang membawa Aceh pada situasi sulit beberapa tahun lalu, harus dialami dengan penuh getir.
Terkait dengan itu, yang mendesak kita lakukan sebagai langkah preventif adalah penyadaran publik. Penyadaran ini kita tujukan kepada masyarakat umum agar tidak terpancing dengan keadaan yang provokatif itu, secara sadar atau tidak sadar memiliki potensi untuk menciptakan suasana chaos, baik karena motivasi psikologis, ekonomis ataupun politis. Harapannya agar semua menyadari betapa mahalnya harga perdamaian yang telah kita capai ini, dan cita-cita mempermanenkan kedamaian. Catatan ini hendak menyegarkan ulang memori kita tentang satu alternatif pemikiran agar Aceh bisa meninggalkan masa transisi ini se-segera mungkin. Intervensinya diarahkan pada usaha menemukan domain yang lebih efektif. Renungan/merefleksikan bersama untuk memperingati tiga tahun damai Aceh adalah salah satu bentuk kegiatan untuk mengkomunikasi pentingnya menjaga perdamaian Aceh sebagai contoh keberhasilan negosiasi diplomatik dan resolusi konflik di Indonesia. Di sisi lain, pentingnya menjaga keterbukaan informasi dalam mencari jalan keluar dari kebuntuan politik. “Perdamaian di Aceh dan di seluruh Indonesia harus selalu digaungkan agar kita bisa mewaspadai riak-riak penghancur damai sendiri.
NPM :23209826
Kelas : 2EB06
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
Contohnya:
Damai Aceh Sebagai Contoh Keberhasilan Negosiasi Diplomatik Dan Resolusi Konflik Di Indonesia
Perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka fakta perdamaian tersebut telah memasuki usia tiga tahun 15 Agustus 2008. Simpul penting transformasi konflik menuju proses damai yang lebih stabil dan berkelanjutan telah dilalui. Kini, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mengikat komitmen damai bagi semua – peace process for all-, bukan hanya pihak yang bertikai. Sejak fakta perdamaian ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, nafas persengketaan dan permusuhan yang telah berakar lebih dari 30 tahun di Aceh mulai berhenti. Ia tergantikan dengan angin perubahaan yang jauh lebih signifikan dan makin melegakan. Simpul penting transformasi konflik menuju proses damai yang lebih stabil dan berkelanjutan telah dilalui. Damai ini mesti direfleksikan dengan rasa syukur oleh seluruh bangsa yang yang bermartabat. Cahaya perdamaian itu makin bersinar ketika pilkada paling demokratis telah mampu memberi ruang baru bagi sirkulasi kekuasaan di Aceh.
Para pemimpin yang terpilih dapat dikatakan sebagai representasi terbaik keinginan rakyat. Proses pemilihan yang nyaman dan belum pernah dialami bumi Iskandar Muda ini sejak pemilu 1955, menggembirakan semua pihak: Jakarta, para stakeholders rehabilitasi dan rekonstruksi, kelompok sipil demokratis, dan akar rumput. Pilkada pun melahirkan pemimpin yang beragam, mulai dari kelompok yang selama ini terbuang dari siklus kekuasaan (outsider) hingga masyarakat sipil yang dianggap berprestasi untuk menjaga momentum recovery Aceh. Kemenangan calon independen dalam pilkada lalu menunjukkan besarnya keinginan dari masyarakat sipil Aceh untuk menyongsong perubahan politik pemerintahan dan mengharapkan adanya visi pembangunan yang lebih mengakar pada kepentingan masyarakat luas dan korban dari kebijakan pro-Jakarta di masa lalu.
Disadari atau tidak, konflik Aceh telah berkembang menjadi problem sosial. Oleh karena itu, rekonsiliasi merupakan salah satu jalan yang amat penting untuk ditempuh. Untuk itu, pelibatan semua komponen masyarakat dalam proses perdamaian merupakan perekat yang dapat mencegah rusaknya perdamaian. Pelibatan masyarakat itu sendiri tercermin dari orientasi pembangunan yang berbasis pemberdayaan. Namun, masih terdapat beberapa persoalan penting di depan. Dalam fakta jalan damai yang mestinya sudah dibangun, keberadaan partai politik lokal dan persaingan politik di antara parpol nasional pada pemilu 2009. akan mewarnai konstalasi politik Aceh ke depan dan bagaimana pemerintahan nasional menghadapi pemerintahan Aceh pasca-pemilu. Sebab, tidak semua masalah Aceh diselesaikan di tanah Aceh sendiri, pastilah masuk kedalam sistem politik nasional. Bagaimanapun, Nota Kesepahaman (MoU) ataupun UU No. 11/2006 adalah bagian dari kebijakan politik nasional, sekalipun dorongan dan masukan dari unsur-unsur masyarakat Aceh juga tidak bisa diabaikan dan signifikan. Aceh yang terlahir sebagai indentitas plural dan jamak telah melalui sejarahnya dengan panjang dan unik. Aceh tidak tunggal dalam memaknai perjalanan dirinya, karena Aceh adalah kumpulan keberagaman. Baik itu etnis, ras, suku, agama, sejarah bangsa bahkan juga pandangan politik. Dimasa-masa awal Aceh, keberagaman ini dapat dimaknai dan diapresiasi secara positif, sehingga Aceh lahir menjadi titik tolak peradaban bagi wilayah sekitarnya.
Kini kedewasaan tersebut mendapat tantangan, karena Aceh sudah berada pada fase yang manentukan, pasca konflik dan tsunami. Bahwa kini di Aceh dituntut kembali untuk menmgelola keberagamannya, seperti masa-masa awal. Pengelolaan secara positif ini dinamai dengan multikulturalisme. Paham yang menerangkan akan pentingnya apresiasi positif terhadap perbedaan, dengan kacamata kesetaraan. menjelang Pemilu 2009 semua pihak ramai-ramai membicarakan dinamika perpolitikan di Aceh. Pertemuan Helsinki memberikan afirmasi bahwa tujuan dialog tidak lain adalah peletakan prioritas dasar terciptanya kondisi perdamaian secara komprehensif di Aceh dengan mengimplementasikan solusi-solusi yang berkelanjutan (sustainable). Hasil ini diharapkan menunjang proyek rekonstruksi Aceh pasca-tsunami agar dapat berhasil.
Boleh disimpulkan secara pragmatis, dialog Helsinki berdiri di atas “faktor ekonomi” yang kemudian menentukan proses-proses politik seperti penghentian kekerasan hingga rekonsiliasi. Sejak awal pihak donor membuat pernyataan bersama bahwa bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh akan “dihambat” jika pemerintah tidak mampu menjamin keamanan di daerah ini. Mungkin salah satu tonggak bersejarah penting untuk membangun kembali Aceh lebih baik merupakan pasca-penandatanganan kesepakatan perdamaian di Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus lalu adalah mempertahankannya sehingga menjadi sesuatu yang bersejarah bagi masyarakat Aceh. Kesepakatan-kesepakatan yang lampau tidak bertahan dan harus dikoreksi dan dipelajari pada perjanjian sekarang. Karena kita membutuhkan redefinisi ulang beberapa hal seperti, istilah nasionalisme Aceh (Bentuk kegagalan Negara dan alkuturasi kekerasan masyarakat terhadap tuntutan yang tidak pernah didengar) dalam kontek NKRI sepertinya kurang enak didengarkan. Menyebut nasionalisme Aceh seperti menangkap sesuatu yang ganjil, tabu, sok subjektif, dan tentu saja bermasalah bila dihadapkan dengan wacana pedoman, penghayatan dan pengalaman Pancasila, apalagi pada sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Di sini maknanya seringkali hanya pembenaran bagi seluruh ethnic, bahasa, subculture, dari kontinen Sabang hingga Merauke. Mereka seluruhnya seperti harus “menyifatkan” Indonesia. Tidak ada nasionalisme bagi etnis-etnis, yang ada hanya nasionalisme Indonesia.
korban konflik mampu memaksimalkan ruang publik (public sphere) yang dimilikinya. Belum semua mampu mengakses proses komunikasi, informasi dan kebijakan dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA) atau Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA), di tingkat pusat/propinsi maupun local/kabupaten-kota. Pola partisipatif, sosialiasi lembaga, peran, transparansi, keihklasan pada tingkat penguasa dan lain lain belum berjalan sebagaimana mestinya. Mungkin, di Aceh, terutama di daerah konflik, sepertinya ada kondisi pseudo-neurotik yang menyebabkan mereka terpasung dan tertekan secara psikologis. Mereka masih merasa tak memiliki siapapun dan apapun yang bisa mengangkat keresahan, harga diri, kepercayaan diri dan keinginannya. Ilustrasi di bawah ini memperlihatkan makin jelas tentang ironisme ruang publik untuk mengakses pemberdayaan korban konflik termasuk mantan combatan yang tersangkut di hangar kekerasan dan dominasi kekuasaan. Karenanya, pengabaian peristiwa kekerasan yang membawa Aceh pada situasi sulit beberapa tahun lalu, harus dialami dengan penuh getir.
Terkait dengan itu, yang mendesak kita lakukan sebagai langkah preventif adalah penyadaran publik. Penyadaran ini kita tujukan kepada masyarakat umum agar tidak terpancing dengan keadaan yang provokatif itu, secara sadar atau tidak sadar memiliki potensi untuk menciptakan suasana chaos, baik karena motivasi psikologis, ekonomis ataupun politis. Harapannya agar semua menyadari betapa mahalnya harga perdamaian yang telah kita capai ini, dan cita-cita mempermanenkan kedamaian. Catatan ini hendak menyegarkan ulang memori kita tentang satu alternatif pemikiran agar Aceh bisa meninggalkan masa transisi ini se-segera mungkin. Intervensinya diarahkan pada usaha menemukan domain yang lebih efektif. Renungan/merefleksikan bersama untuk memperingati tiga tahun damai Aceh adalah salah satu bentuk kegiatan untuk mengkomunikasi pentingnya menjaga perdamaian Aceh sebagai contoh keberhasilan negosiasi diplomatik dan resolusi konflik di Indonesia. Di sisi lain, pentingnya menjaga keterbukaan informasi dalam mencari jalan keluar dari kebuntuan politik. “Perdamaian di Aceh dan di seluruh Indonesia harus selalu digaungkan agar kita bisa mewaspadai riak-riak penghancur damai sendiri.
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
Nama : Safira Kamila
NPM : 23209826
Kelas :2EB06
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
NPM : 23209826
Kelas :2EB06
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Langganan:
Postingan (Atom)