Nama: Safira Kamila
NPM :23209826
Kelas : 2EB06
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
Contohnya:
Damai Aceh Sebagai Contoh Keberhasilan Negosiasi Diplomatik Dan Resolusi Konflik Di Indonesia
Perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka fakta perdamaian tersebut telah memasuki usia tiga tahun 15 Agustus 2008. Simpul penting transformasi konflik menuju proses damai yang lebih stabil dan berkelanjutan telah dilalui. Kini, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mengikat komitmen damai bagi semua – peace process for all-, bukan hanya pihak yang bertikai. Sejak fakta perdamaian ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, nafas persengketaan dan permusuhan yang telah berakar lebih dari 30 tahun di Aceh mulai berhenti. Ia tergantikan dengan angin perubahaan yang jauh lebih signifikan dan makin melegakan. Simpul penting transformasi konflik menuju proses damai yang lebih stabil dan berkelanjutan telah dilalui. Damai ini mesti direfleksikan dengan rasa syukur oleh seluruh bangsa yang yang bermartabat. Cahaya perdamaian itu makin bersinar ketika pilkada paling demokratis telah mampu memberi ruang baru bagi sirkulasi kekuasaan di Aceh.
Para pemimpin yang terpilih dapat dikatakan sebagai representasi terbaik keinginan rakyat. Proses pemilihan yang nyaman dan belum pernah dialami bumi Iskandar Muda ini sejak pemilu 1955, menggembirakan semua pihak: Jakarta, para stakeholders rehabilitasi dan rekonstruksi, kelompok sipil demokratis, dan akar rumput. Pilkada pun melahirkan pemimpin yang beragam, mulai dari kelompok yang selama ini terbuang dari siklus kekuasaan (outsider) hingga masyarakat sipil yang dianggap berprestasi untuk menjaga momentum recovery Aceh. Kemenangan calon independen dalam pilkada lalu menunjukkan besarnya keinginan dari masyarakat sipil Aceh untuk menyongsong perubahan politik pemerintahan dan mengharapkan adanya visi pembangunan yang lebih mengakar pada kepentingan masyarakat luas dan korban dari kebijakan pro-Jakarta di masa lalu.
Disadari atau tidak, konflik Aceh telah berkembang menjadi problem sosial. Oleh karena itu, rekonsiliasi merupakan salah satu jalan yang amat penting untuk ditempuh. Untuk itu, pelibatan semua komponen masyarakat dalam proses perdamaian merupakan perekat yang dapat mencegah rusaknya perdamaian. Pelibatan masyarakat itu sendiri tercermin dari orientasi pembangunan yang berbasis pemberdayaan. Namun, masih terdapat beberapa persoalan penting di depan. Dalam fakta jalan damai yang mestinya sudah dibangun, keberadaan partai politik lokal dan persaingan politik di antara parpol nasional pada pemilu 2009. akan mewarnai konstalasi politik Aceh ke depan dan bagaimana pemerintahan nasional menghadapi pemerintahan Aceh pasca-pemilu. Sebab, tidak semua masalah Aceh diselesaikan di tanah Aceh sendiri, pastilah masuk kedalam sistem politik nasional. Bagaimanapun, Nota Kesepahaman (MoU) ataupun UU No. 11/2006 adalah bagian dari kebijakan politik nasional, sekalipun dorongan dan masukan dari unsur-unsur masyarakat Aceh juga tidak bisa diabaikan dan signifikan. Aceh yang terlahir sebagai indentitas plural dan jamak telah melalui sejarahnya dengan panjang dan unik. Aceh tidak tunggal dalam memaknai perjalanan dirinya, karena Aceh adalah kumpulan keberagaman. Baik itu etnis, ras, suku, agama, sejarah bangsa bahkan juga pandangan politik. Dimasa-masa awal Aceh, keberagaman ini dapat dimaknai dan diapresiasi secara positif, sehingga Aceh lahir menjadi titik tolak peradaban bagi wilayah sekitarnya.
Kini kedewasaan tersebut mendapat tantangan, karena Aceh sudah berada pada fase yang manentukan, pasca konflik dan tsunami. Bahwa kini di Aceh dituntut kembali untuk menmgelola keberagamannya, seperti masa-masa awal. Pengelolaan secara positif ini dinamai dengan multikulturalisme. Paham yang menerangkan akan pentingnya apresiasi positif terhadap perbedaan, dengan kacamata kesetaraan. menjelang Pemilu 2009 semua pihak ramai-ramai membicarakan dinamika perpolitikan di Aceh. Pertemuan Helsinki memberikan afirmasi bahwa tujuan dialog tidak lain adalah peletakan prioritas dasar terciptanya kondisi perdamaian secara komprehensif di Aceh dengan mengimplementasikan solusi-solusi yang berkelanjutan (sustainable). Hasil ini diharapkan menunjang proyek rekonstruksi Aceh pasca-tsunami agar dapat berhasil.
Boleh disimpulkan secara pragmatis, dialog Helsinki berdiri di atas “faktor ekonomi” yang kemudian menentukan proses-proses politik seperti penghentian kekerasan hingga rekonsiliasi. Sejak awal pihak donor membuat pernyataan bersama bahwa bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh akan “dihambat” jika pemerintah tidak mampu menjamin keamanan di daerah ini. Mungkin salah satu tonggak bersejarah penting untuk membangun kembali Aceh lebih baik merupakan pasca-penandatanganan kesepakatan perdamaian di Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus lalu adalah mempertahankannya sehingga menjadi sesuatu yang bersejarah bagi masyarakat Aceh. Kesepakatan-kesepakatan yang lampau tidak bertahan dan harus dikoreksi dan dipelajari pada perjanjian sekarang. Karena kita membutuhkan redefinisi ulang beberapa hal seperti, istilah nasionalisme Aceh (Bentuk kegagalan Negara dan alkuturasi kekerasan masyarakat terhadap tuntutan yang tidak pernah didengar) dalam kontek NKRI sepertinya kurang enak didengarkan. Menyebut nasionalisme Aceh seperti menangkap sesuatu yang ganjil, tabu, sok subjektif, dan tentu saja bermasalah bila dihadapkan dengan wacana pedoman, penghayatan dan pengalaman Pancasila, apalagi pada sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Di sini maknanya seringkali hanya pembenaran bagi seluruh ethnic, bahasa, subculture, dari kontinen Sabang hingga Merauke. Mereka seluruhnya seperti harus “menyifatkan” Indonesia. Tidak ada nasionalisme bagi etnis-etnis, yang ada hanya nasionalisme Indonesia.
korban konflik mampu memaksimalkan ruang publik (public sphere) yang dimilikinya. Belum semua mampu mengakses proses komunikasi, informasi dan kebijakan dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA) atau Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA), di tingkat pusat/propinsi maupun local/kabupaten-kota. Pola partisipatif, sosialiasi lembaga, peran, transparansi, keihklasan pada tingkat penguasa dan lain lain belum berjalan sebagaimana mestinya. Mungkin, di Aceh, terutama di daerah konflik, sepertinya ada kondisi pseudo-neurotik yang menyebabkan mereka terpasung dan tertekan secara psikologis. Mereka masih merasa tak memiliki siapapun dan apapun yang bisa mengangkat keresahan, harga diri, kepercayaan diri dan keinginannya. Ilustrasi di bawah ini memperlihatkan makin jelas tentang ironisme ruang publik untuk mengakses pemberdayaan korban konflik termasuk mantan combatan yang tersangkut di hangar kekerasan dan dominasi kekuasaan. Karenanya, pengabaian peristiwa kekerasan yang membawa Aceh pada situasi sulit beberapa tahun lalu, harus dialami dengan penuh getir.
Terkait dengan itu, yang mendesak kita lakukan sebagai langkah preventif adalah penyadaran publik. Penyadaran ini kita tujukan kepada masyarakat umum agar tidak terpancing dengan keadaan yang provokatif itu, secara sadar atau tidak sadar memiliki potensi untuk menciptakan suasana chaos, baik karena motivasi psikologis, ekonomis ataupun politis. Harapannya agar semua menyadari betapa mahalnya harga perdamaian yang telah kita capai ini, dan cita-cita mempermanenkan kedamaian. Catatan ini hendak menyegarkan ulang memori kita tentang satu alternatif pemikiran agar Aceh bisa meninggalkan masa transisi ini se-segera mungkin. Intervensinya diarahkan pada usaha menemukan domain yang lebih efektif. Renungan/merefleksikan bersama untuk memperingati tiga tahun damai Aceh adalah salah satu bentuk kegiatan untuk mengkomunikasi pentingnya menjaga perdamaian Aceh sebagai contoh keberhasilan negosiasi diplomatik dan resolusi konflik di Indonesia. Di sisi lain, pentingnya menjaga keterbukaan informasi dalam mencari jalan keluar dari kebuntuan politik. “Perdamaian di Aceh dan di seluruh Indonesia harus selalu digaungkan agar kita bisa mewaspadai riak-riak penghancur damai sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar