Nama : Safira Kamila
Kelas : 2EB06
NPM : 23209826
Dalam usia empat tahun berlakunya UU, Antimonopoli tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ingin mendapatkan masukan dari stakeholdernya, seperti dari pelaku usaha, ahli hukum persaingan, praktisi hukum, pemerintah, DPR dan lain-lain. Sebagai pelaku usaha saya diminta juga memberikan suatu tinjauan terhadap pelaksanaan UU Antimonopoli tersebut. Untuk itu saya memberi judul makalah saya “Peranan UU No. 5/1999 Dalam Dunia Bisnis di Indonesia”. Dalam paper ini akan ditinjau dampak UU Antimonopoli terhadap dunia bisnis Indonesia.
Untuk mengetahui dampak UU Antimonopoli terhadap dunia bisnis, maka perlulah dilihat tujuan dari UU Antimonopoli. Berhasil tidaknya pelaksanaan UU Antimonopoli tersebut dapat diukur, jika tujuan UU Antimonopoli tersebut dapat dicapai. Dari kacamata pelaku usaha tujuan UU Antimonopoli yang ditetapkan di dalam pasal 3 tersebut adalah menjadi harapan para pelaku usaha, yaitu
1. terwujudnya iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha, bagi pelaku usaha besar, menengah dan pelaku usaha kecil
2. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat;
3. terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha; dan yang terakhir sebagai akibat dari tiga tujuan sebelumnya adalah
4. untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dari keempat tujuan tersebut dapat dirumuskan secara sederhana menjadi tiga tujuan yang pertama memberi kesempatan yang sama bagi setiap orang/pelaku usaha untuk melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia, yang kedua menciptakan (terselenggararanya) persaingan usaha yang sehat, dan yang ketiga meningkatkan kesejahteraan masyarakat .
Semangat Undang-Undang Nomor 5
Secara umum Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 lahir dalam rangka mendorong persaingan yang sehat sehingga iklim berusaha lebih fair, dan kondusif untuk menjamin industri yang kompetitif bisa tumbuh dan
berkembang serta kesejahteraan masyarakat lebih terjamin. Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 pada dasarnya melarang tiga hal pokok yaitu a) perjanjian yang dilarang, b) kegiatan yang dilarang serta c) posisi dominan dalam pasar. Pelaku usaha yaitu usaha besar dan menengah dilarang melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengendalikan produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya praktek memonopoli atau terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam undang-undang tersebut maka hanya usaha besar dan menengah saja yang terkena larangan, karena Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 secara tegas memberikan pengecualian kepada usaha kecil dan koperasi.
Perjanjian yang dilarang oleh undang-undang ini adalah a) membuat perjanjian penetapan harga jual suatu produk atau jasa, b) melakukan diskriminasi harga, c) melakukan boikot, d) membuat perjanjian tertutup, e) industri yang berbentuk oligopoli, f) melakukan predatory pricing, g) melakukan pembagian wilayah, h) membentuk kartel, i) melakukan praktek trust, serta j) membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Disamping adanya pelarangan atas perjanjian dan perilaku tertentu juga dilarang praktek yang memanfaatkan posisi dominan dalam pasar. Semua praktek yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara universal diyakini sebagai bentuk yang tidak fair karena tindakan tersebut akan mengarah pada terciptanya struktur pasar yang
monopolistik.
Ada beberapa argumentasi yang
dapat ditelusuri atas pengecualian yang diberikan kepada usaha kecil dan koperasi yang melayani anggotanya sebagai berikut:
1. Pengecualian bagi Usaha Kecil
Pengecualian bagi usaha kecil dari larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 dapat diterima karena beberapa alasan sebagai berikut:
a . Dampak ekonomis. Manakala usaha kecil secara individu melakukan praktek sebagaimana yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka diperkirakan tidak memiliki dampak ekonomis yang
membahayakan bagi masyarakat luas.
b. Skala usaha. Batasan skala usaha yang ditetapkan dalam undangundang dapat digunakan sebagai batas kapan sebuah perusahaan boleh melakukan praktek yang dilarang. Seandainya usaha kecil melakukan praktek yang di l a r ang untuk membe s a rkannya menj adi usaha menengah, maka begitu dia menduduki kategori sebagai usaha menengah saat itu pula dia terlarang dari praktek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
c . Ketebatasan kapasitas. Usaha berskala kecil diyakini tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menguasai pasar, dengan demikian tidak ada dorongan dan insentif untuk melakukan praktek monopolisasi dalam rangka menguasai pasar, mengingat sebahagian praktek yang dilarang hanya mungkin dilakukan dengan biaya yang besar. Terutama berkaitan dengan strategi untuk mematikan usaha lainnya. Sebagai ilustrasi tidaklah mungkin bagi usaha berskala kecil untuk dapat melakukan predatory pricing, karena boleh jadi hal itu justru mematikan usaha itu sendiri karena kehabisan dana untuk melakukan perang harga.
d. Jumlah pelaku. Jumlah pelaku usaha berskala kecil relatif sangat bayak, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk melakukan upaya penyatuan kekuatan seperti kartel menjadi kekuatan yang memonopoli.
e . Price taker. Posisi usaha berskala kecil yang berstatus sebagai price taker secara psikologis tidak memiliki ruang pilihan untuk mempengaruh pasar.
Bagi usaha berskala kecil dan koperasi mungkin dapat menggunakan strategi apa saja untuk mengembangkan bisnisnya, dalam rangka mengimbangi kekuatan usaha berskala lebih besar, akan tetapi melakukan praktek yang secara umum semestinya dilarang, tetap memiliki potensi yang merugikan masyarakat karena dapat berdampak buruk terutama bagi sesama usaha kecil dan koperasi. Beberapa praktek bisnis dalam kaitannya dengan pengecualian bagi usaha kecil dan koperasi yang perlu diwaspadai dengan menggunakan kaidah
role of reason, antara lain: a . Usaha kecil seharusnya tidak diperbolehkan melakukan perjanjian dengan
pihak luar negeri baik sebagai pembeli maupun sebagai penjual produk yang dapat menghilangkan persaingan atau mematikan usaha kecil lainnya. Mengingat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 pihak luar negeri tidak dikategorikan apakah sebagai usaha besar dan menengah atau kecil maupun koperasi. Bilamana pihak luar negeri dapat dikategorikan sebagai usaha besar dan menengah, maka otomatis terkena ketentuan pelarangan sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut.
b. Beberapa usaha kecil semestinya tidak melakukan upaya persekongkolan (perjanjian tertutup, boikot, pembagian wilayah) untuk menciptakan barriers to entry, sehingga akan menghambat kesempatan tumbuhnya usaha-usaha kecil baru. Kenyataannya dalam suatu wilayah pasar tertentu dominasi usaha kecil yang satu terhadap usaha kecil yang lainnya bisa saja terjadi dan kekuatan mendominasi bisa saja dimanfaatkan meskipun tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi masyarakat secara luas.
c . Koperasi semestinya tidak melakukan diskriminasi antara anggotanya yang satu dengan anggotanya yang lain baik sebagai pemasok maupun sebagai pelanggan. Koperasi boleh melakukan diskriminasi antara anggota dan non anggota (lihat Gambar 2). Kaidah perlakuan diskriminatif ini seharusnya berlaku juga bagi koperasi sekunder dan induk koperasi.
Pertanyaannya adalah apakah tujuan tersebut telah dapat dicapai setelah UU Antimonopoli diberlakukan? Sejak diberlakukannya UU Antimonopoli mulai tgl. 5 Maret 2000 ada satu perubahan (dampak) mendasar dalam sistem perekonomian Indonesia, yaitu sistem ekonomi Indonesia menganut sistem ekonomi pasar. Konsekuensi (manfaat) diberlakukannya UU Antimonopoli pasar menjadi terbuka, misalnya sejak tahun 1999 pada sektor penerbangan perusahaan swasta boleh masuk ke sektor ini. Artinya, pelaku usaha disektor ini semakin bertambah. Sejak sector penerbangan dibuka bagi swasta terdapat 16 airline yang mendapat ijin. Dengan demikian semakin banyak pilihan bagi konsumen untuk memilih airline yang disukainya. Konsumen biasanya akan memilih harga yang murah dan pelayanan jasa yang lebih baik. Dan pada tahun 2001 KPPU menyampaikan saran dan pertimbangannya kepada Pemerintah untuk mencabut wewenang INACA yang menetapkan harga batas bawah dan atas penerbangan. Saran dan pertimbangan tersebut diterima oleh pemerintah. Akibatnya terjadi persaingan harga tiket airline. Pada tahun 1998 misalnya harga tiket Jakarta – Medan pp, mencapai Rp. 2 juta lebih. Sekarang dengan uang kurang dari Rp. 500.000,- seseorang dapat naik pesawat dari Jakarta ke Medan, demikian juga dari Jakarta ke Surabaya dan dari Jakarta ke Batam seseorang dapat naik pesawat terbang dengan uang kurang dari Rp. 300.000,-. Hal ini tentu menguntungkan konsumen.
Dari contoh diatas menunjukkan, bahwa UU Antimonopoli memberikan kebebasan bagi pelaku usaha menjalankan usahanya asalkan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang ditetapkan. Dengan demikian UU Antimonopoli menjadi salah satu sarana dan pedoman bagi pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan usahanya secara fair. Di negara- negara yang belum lama mempunyai UU Antimonopoli, seperti Indonesia penerapan ketentuan UU Antimonopoli tidaklah hal yang mudah. Tidak mudah, karena disiplin ilmu hukum persaingan adalah hal yang baru, bagi para akademisi, praktisi hukum, pengadilan, KPPU dan bagi pelaku usaha. Pada usianya empat tahun, semua pihak harus saling asah untuk menemukan pemahaman dasar-dasar persaingan usaha secara benar, khususnya bagi KPPU sebagai pelaksana tingkat pertama ketentuan UU Antimonopoli. Dalam kurun waktu empat tahun tersebut KPPU telah memutuskan 14 kasus. Ini merupakan suatu prestasi.
Kebijakan Pemerintah langgar ketentuan UU Antimonopoli
Selain pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU Antimonopoli, kenyataannya pemerintah juga melanggar ketentuan UU Antimonopoli melalui kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikeluarkannya yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkautan. Misalnya, pemerintah dalam hal ini Menperindag mengeluarkan SK No. 643/MPP/Kep/9/2002 tentang Tata Niaga Impor Gula, yang menunjuk beberapa importir gula, dan pada tgl. 17 Februari 2004 Menperindag mengeluarkan Kep. No. 61/MPP/2/Kep/2004 tentang Perdagangan Gula Antar Pulau.
Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa UU Antimonopoli mempunyai dampak positif bagi dunia bisnis di Indonesia, yaitu terbukanya pasar bagi setiap pelaku usaha dan terjadi persaingan yang mendorong pelaku melakukan efisiensi dan inovasi. Namun demikian di dalam pelaksanaannya masihterjadi pelanggaran terhadap UU Antimonopoli tersebut, baik disengaja maupun yang tidak disengaja oleh pelaku usaha dan pemerintah dalam menerbitkan kebijakan ekonominya. Dan KPPU juga dalam menerapkan UU Antimonopoli tersebut masih mengalami kelemahan disana-sini, seperti dalam putusan Indomaret. Nah, untuk dapat lebih mudah memahami ketentuan-ketentuan UU Antimonopoli tersebut, KPPU harus menerbitkan guideline-guideline sebagai pedoman bagi pelaku usaha dalam menjalan kegiatan usahanya. Hal ini akan mengurangi
penafsiran yang berbeda-beda terhadap ketentuan-ketentuan UU Antimonopoli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar